News Update :

Kondisi wilayah Aceh Tengah

Selasa, 02 Februari 2010

Panorama pegunungan, bukit, serta kondisi alam yang masih asri dan kerap berselimut kabut, menjadikan pemandangan di dataran tinggi Gayo bak lukisan alam. Dilihat dari kejauhan saat kabut turun, sebuah kabupaten yang terletak di sepanjang Bukit Barisan itu seolah menyembul dari awanawan yang melingkupinya. Kabupaten Aceh Tengah bagaikan “negeri di atas awan”.

Rona wilayah yang didominasi pegunungan serta suhu udara yang sejuk memberi pesona tersendiri bagi daerah ini. Sebuah danau yang dikitari gunung-gunung di tepi Kota Takengon, ibu kota kabupaten, melengkapi keindahan Kabupaten Tanah Gayo itu. Dari Danau Laut Tawar itu mengalir sebuah Sungai Krueng Peusangan yang bermuara di Selat Malaka. Danau seluas 5.472 hektar itu selain sebagai obyek wisata, juga merupakan sumber air minum bagi masyarakat yang ada di Kota Takengon, serta sebagai sumber air bagi PLTA Peusangan I dan II.

Aceh Tengah berdiri tanggal 14 April 1948 berdasarkan Undang-Undang No. 10 tahun 1948 dan dikukuhkan kembali sebagai sebuah kabupaten pada tanggal 14 November 1956 melalui Undang-undang No. 7 (Drt) Tahun 1956. Wilayahnya meliputi tiga kewedanaan yaitu Kewedanaan Takengon, Gayo Lues dan Tanah Alas. Sulitnya transportasi dan didukung aspirasi masyarakat, akhirnya pada tahun 1974 Kabupaten Aceh Tengah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Aceh Tenggara melalui Undang – undang No. 4 Tahun 1974. Kemudian, pada 7 Januari 2004, Kabupaten Aceh Tengah kembali dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan Undang -undang No. 41 Tahun 2003. Kabupaten Aceh Tengah tetap beribukota di Takengon, sementara Kabupaten Bener Meriah beribukota Simpang Tiga Redelong.

Kabupaten Aceh Tengah merupakan salah satu kabupaten dalam wilayah Provinsi Aceh dengan luas wilayah 4.318,39 km2, terletak antara 40 10” sampai 40 .58” Lintang Utara dan 960,18” sampai 960 22 Bujur Timur, dengan ketinggian bervariasi antara 200 meter sampai dengan 2.600 meter di atas permukaan lau. Kabupaten Aceh tengah berbatas sebagai berikut:

- Sebelah Utara dengan Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Bener Meriah;

- Sebelah Selatan dengan Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Gayo Lues;

- Sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Timur;

- Sebelah Barat dengan Kabupaten Pidie dan Aceh Barat

Daerah ini beriklim tropis. Musim kemarau biasanya jatuh pada bulan Januari sampai dengan Juli, dan musim hujan berlangsung dari bulan Agustus sampai bulan Desember. Curah hujan berkisar antara 1.082, sampai dengan 2.409 Milimeter per tahun dengan jumlah hari hujan antara 113 sampai dengan 160 hari per tahun. Udara sejuk dan menyegarkan dengan suhu sekitar 20,100C, bulan April dan Mei merupakan bulan terpanas yang mencapai suhu yaitu 20,60 C, dan bulan September adalah bulan dengan udara dingin dengan suhu yaitu 19,700 C. Keadaan udara tidak terlalu lembab dengan rata-rata kelembaban nisbi 80%, dengan topografi pada umumnya bergunung dan berbukit-bukit.

Di tengah-tengah perbukitan yang ada terdapat sebuah danau yang disebut Danau Laut Tawar, yang dikelilingi bukit yang ditumbuhi pohon Pinus Merkusi. Luas danau ini sekitar 5.472 Ha dengan air yang sejuk dan bersih yang bersumber dari sejumlah mata air dan 21 buah sungai kecil. Danau ini telah memperindah alam Tanah Gayo, sekaligus merupakan objek wisata yang sangat menarik.

Luas wilayah Kabupaten Aceh Tengah seluruhnya adalah 413.839 Ha, di antaranya luas hutan mencapai 256.592 Ha, atau sebesar 62% dari luas wilayah Aceh Tengah. Sedangkan luas lahan yang relatif kecil adalah kolam/ tebat/ empang yang hanya memiliki luas sebanyak 210 Ha.

Danau Laut Tawar

Jika dapat kita lihat secara sfesifik danau laut tawar memiliki Luas : 5,472 ha, Panjang rata-rata : 17 km Lebar rata-rata : 3,219 km, sedangkan yang mendukung prasarana jalan yang berstatus : Jalan Provinsi (Jalan Pariwisata) panjang jalan utara : 18 km dan panjang jalan selatan : 24 km. sedangkan secara sifat fisik dan kimia dari danau laut tawar adalah; dimana ada 25 buah aliran yang bermuara di Danau Laut Tawar yang terdiri dari sungai, alur, aliran (rerak) dengan debit total 10.543 liter/detik. Aliran yang keluar daut tawar melalui Krueng Peusangan dengan debit 5.664 liter/detik. Danau laut tawar dikelilingi oleh 3 kecamatan yang terdiri dari 5 Mukim dan 27 gampong.

Fotensi Danau Laut Tawar

Danau Laut Tawar memiliki berbagai potensi yang mampu menyokong kehidupan masyarakat disekitarnya, seperti, Sumber daya perikanan, Pertambangan dan Pariwisata. Disekitar Danau Laut Tawar potensi pertambangan yang belum di eksplorasi adalah Lempung (12,87 juta ton), Batu Gamping (60 juta ton), Marmer (7.800 juta ton), fosfat dll. Potensi Pariwisata di sebalah Timur danau terdapat Ujung Bintang dan Gue Muyang Prupi, Disebelah Barat terdapat Dermaga wisata, Atu Tingok, One-one. Disebelah Utara potensi pariwisata yang cukup menarik adalah Gue Putri Pukes, Mepar dan Ujung Anar-anar (kelitu). Sedang disebalah selatan terdapat Ujung Nunang, Ujung Sere dan Ujung Kalang.

Danau Laut Tawar juga merupakan daerah tangkapan air, dimana ada sekitar 24 anak sungai yang bermuara langsung ke Danau Laut Tawar, selain itu juga disekitar danau laut tawar ini masyarakatnya juga memanfaatkan lahan untuk pertanian (tanamanan Padi dan palawija).

Masyarakat dengan Danau Laut Tawar

Jika dapat kita melihat berbagai sosila budaya masyarakat disekitar danau lut tawar untuk memanfaatkan dan menjaga potensi sumber daya alam yang ada khususnya danau lut tawar. Masyarakat yang mata pencariannya dari danau laut tawar sering disebuatkan sebagai begule (nelayan), dimana masyarakat yang melakukan kegiatan begule harus memetuhi aturan-aturan adat yang berlaku di danau laut tawar seperti: 50 -100 meter dari pinggir danau tidak diperbolehkan menggunakan jarring kecil.

Berbagai metode penangkapan ikan dilakukan oleh masyarakat dari masa ke masa. Ada metode penangkapan yang masih dipakai sampai saat ini, namun ada pula yang telah ditinggalkan dangan alasan kurang praktis dsb. Beberapa metode penangkapan ikan yang diterapkan oleh masyarakat adalah :

* Meunekik, memancing yang menggunakan kail (pancing) yang terbuat dari bambu dengan ditambahkan seutas tali pada ujungnya
* Mudoran, Menangkap ikan dengan mengunakan jaring sejenis pukat yang digunakan di Laut. Setelah doran dipasang didiamkan sampai saat tertentu, menunggu sampai mengakat kembali (Langku) doran tersebut biasanya disebut dengan dedem
* Munyerampang, Menangkap ikan dengan mengunakan tombak, biasanya dilakuakan malam hari dengan mengunakan perahu yang dilengkapi petromaks.
* Dedisen, Khusus untuk menangkap depik (Rasbora leptasoma), dimuara suangai yang masuk ke danau dibuat semacam bendungan dari batu dilengkapi dengan bubu. Biasanya ikan depik akan mendekati muara sungai dan masuk ke bendungan melalui bubu.
* Munyamar, dilakukan pada malam hari dengan perahu yang dilengkapi dengan sumber cahaya (petromaks dll), agar ikan tertentu melompat masuk ke dalam perahu.
* Mujele/Munyempak, Menangkap ikan dengan mengunakan jala.
* Kekal, Seutas tali (biasanya tali ijuk) diregangkan antara 2 tiang. Disepanjang tali tersebut dipasang tali pancing yang dilengkapi dengan mata pancing dan pelampung. Dahulu pelampung yang digunakan terbuat dari tempurung labu yang telah dikeringkan, pelampung sebagai indicator bahwa ikan telah terpancing.

Dengan demikian bahwa masyarakat yang berada disekitar kawasan danau laut tawar memiliki tradisi tersendiri dalam memanfaatkan Danau laut Tawar untuk sebagai salah satu tempat mata pencarian mereka. Seiring dengan kemajuan zaman dan pasca komplik yang terjadi di Aceh beberapa tradisi yang sudah ada mulai hilang, ditambah lagi tradisi yang baru seperti pambuatan tambak buatan yang ada di pinggir danau laut tawar, tambak/keramba ini mulai ada sejak tahun 1999.

Keramba/tambak ini ada disebabkan karena banyak masyarakat yang tidak dapat mencari nafkah ke gunung dan kekebun dimana pada saat ini Aceh pada umumnya dan Aceh Tengah pada khususnya sedang terjadi komplik, sehingga untuk menghiduki keluarga mereka membuat keramba. Banyak hal positif yang didapat dari pembuatan keramba tersebut tetapi banyak pula hal negative yang didapat dari pembuatan keramba tersebut dimana salah satunya dengan adanya keramba tersebut jumlah populasi dari ikan depik mulai berkurang, terjadi pencemaran danau laut tawar karna penggunaan jenis makanan ikan dan cara pemberian makanan dan pengendalian hama dan penyakit dimana kesemuanya menggunakan zat-zat kimia.

Peran Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Danau Laut Tawar

Danau laut tawar merupakan salah satu kebanggaan yang ada di Kabupaten Aceh Tengah, dimana dari potensi yang dimiliki danau laut tawar ini dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat yang berada disekitar danau tersebut secara langsung dan bagi masyarakat yang ada di Aceh Tengah secara tidak langsung.

Jika kita melihat sejarah cerita zemen (masa lalu), bahwa masyarakat yang berada disekitar danau tersebut memiliki aturan dalam pemanfaatan danau tersebut salah satunya penggunaan jarring (alat Tangkap) untuk menangkap ikan depik (Rasbora tawarensis) dimana ukurannya tidak boleh kecil (0,5 cm), dan penggunaan jarring hanya boleh di kawasan tertentu saja.

Disekitar danau laut tawar merupakan daerah yang rawan akan kebakaran, sehingga sejak dari dulu masyarakat adat yang ada disekitar danau laut tawar, melalui mukimnya membentuk petugas yang mengurusi persoalan kebakaran hutan, yang disebut dengan Upes Api, dimana tugas pokoknya adalah mengamati daerah rawan kebakaran (hotspot) dan melakukan sosialisasi tentang dampak dari pembakaran sembarangan dan kebakaran hutan.

Dengan adanya petugas upes api yang ada di sekitar danau laut tawar ini memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam upaya mencegah terjadinya kebakaran hutan yang sering terjadi di sekitar danau laut tawar maupun di beberapa daerah yang ada di Kabupaten Aceh Tengah. Petugas upes api juga sering melakukan koordinasi dengan dinas kehutanan dan perkebunan kabupaten Aceh Tengah dalam upaya penanggulangan bencanya kebakaran.

Kehutanan dan Perkebunan

Aceh Tengah yang dikenal pula dengan sebutan “Negeri Antara” memang memiliki kekayaan alam yang melimpah. Luas wilayahnya 58,57 persen merupakan kawasan lindung dan sisanya 41,43 persen menjadi kawasan budi daya. Topografi yang bergunung-gunung dan tanah yang subur memberi keuntungan bagi usaha pertanian. Kabupaten ini memang masih menggantungkan ekonominya dari pertanian. Kontribusinya mencapai Rp 839,91 milyar. Sebesar 32,05 persennya atau senilai Rp 350,95 milyar disumbang dari perkebunan.

Kopi menjadi andalan utamanya. Perkebunan kopi mencapai 73.461 hektar yang tersebar di seluruh kecamatan dan umumnya merupakan perkebunan milik rakyat. Sebanyak 53.902 keluarga petani kopi terlibat di usaha perkebunan ini. Penanaman kopi memang sudah dikenal penduduk sejak zaman Belanda. Bahkan, sebagian besar kebun kopi yang ada merupakan peninggalan perkebunan Belanda. Jenis kopi arabica-lah yang banyak ditanam di sini. Selain karena memang cocok tumbuh di daerah yang berhawa sejuk, harganya pun relatif lebih tinggi dibanding kopi jenis lain. Hasil dari perkebunan Kopi tersebut sebagian ada yang diekspor ke Amerika, Jepang, dan Belanda, dan sebagian lainnya dikirim ke Medan kemudian diekspor ke negara tujuan. Nilai ekspor kopi bisa mencapai 10 juta dollar AS lebih dalam setahun.

Ketinggian daerah Aceh Tengah bervariasi, dari 100 meter hingga 2.500 meter di atas permukaan laut. Di beberapa tempat dimungkinkan untuk ditanami tanaman pangan, seperti padi, palawija, dan hortikultura. Namun, hampir 79,64 persen lahan di daerah ini berada pada kemiringan yang hanya cocok untuk usaha perkebunan.

Tanaman palawija yang banyak dibudidayakan antara lain kacang kedelai, kacang tanah, jagung, dan ubi jalar, sedangkan komoditas buah-buahan yang diusahakan sebagai kegiatan sampingan adalah tanaman jeruk keprok, jeruk siam, alpokat, nanas, dan durian. Jeruk keprok menjadi produk unggulan. Sebagian petani sudah menjadikan tanaman tersebut sebagai tanaman utama, dan hasil produksinya pun sudah mulai dipasarkan ke beberapa pasar swalayan yang ada di Medan dan Jakarta. Daerah yang memiliki komunitas tanaman palawija dan buah-buahan tersebar di beberapa kecamatan seperti Takengon, Bebesen, Silih Nara, Bukit, Bandar, dan Pegasing.

Kondisi Kehutanan Kabupeten Aceh Tengah

Kondisi lahan yang ada di Aceh Tengah berbukit-bukit dan berhutan. Walaupun hutan di wilayah ini menghasilkan banyak kayu jenis pinus, masyarakat juga membudidayakan dan memanfaatkan kayu kampong untuk keperluan sehari-hari. Kayu-kayu kampung yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat daerah ini adalah nangka, alpokat, mangga , kayu manis, durian, kemiri , temung , petai dan jeruk.

Pada umumnya masyarakat yang menggunakan kayu gampong tersebut untuk keperluan sendiri dan juga menjual sebagian kayu kampung mereka. Yang menarik lagi adalah ada sebagian masyarakat yang menggunakan kayu-kayu kampung untuk kayu bakar dan ada juga menggunakan untuk kebutuhan lain-lain.

Sementara untuk lahan-lahan milik, masyarakat banyak menggunakan lahannya untuk menanam palawija dan menanam padi di lahan pertanian, sedangkan untuk lahan kebun, mereka menanam kopi. Kopi Gayo memang sudah sangat terkenal hingga manca negara dan menjadi mata pencaharian utama mayoritas penduduk di daerah ini.

Masyarakat dataran tinggi Gayo juga sudah sangat maju dengan berbagai komoditi pertanian dan hasil hutan non kayu yang mereka budidayakan. Hasil hutan bukan kayu yang banyak dimanfaatkan masyarakat antara lain rotan, kunyit, sere, jahe, lengkuwas, temulawak, kencur, bungle, terong belanda dan tanaman obat.

Jika kita melihat dari luas hutan dan pemanfaatannya, ada tiga potensi lingkungan yang sangat besar yang terdapat di Kabupaten Aceh Tengah yaitu:

1. Penyangga Kawasan Ekosistem Leuser. Aceh Tengah juga merupakan kabupeten yang termasuk dalam kawasan Ekosistem Leuser, dimana terdapat ada
2. Daerah tangkapan Air, dimana ada 24 anak sungai yang ada di Kabupaten Aceh Tengah yang kesemuanya bermuara ke Danau Laut Tawar.
3. Hulu DAS Krueng pesangan. Daerah Aliran Sungai Krueng Pesangan mengairi 5 (lima) Kabupaten yang ada di Aceh seperti: Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Biruen, dan Gayo Lues.

Masyarakat Adat dengan Sumber Daya Hutan

Pasca Moratorium Logging yang dikeluarkan oleh Gubernur, kebutuhan akan kayu oleh masyarakat tidak mudah didapatkan seperti sebelum dikeruarkannya intruksi gubernur tersebut. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa tokoh masyarakat dan pemerintah daerah yang terkait khususnya dinas kehutanan dan perkebuanan kabupeten Aceh Tengah. Setiap penembangan kayu tanah milik harus memiliki surat izin dari dinas perkebuanan dan kehutanan Kabupaten Aceh Tengah. Dimana jika ada masyarakat yang akan melakukan penebangan kayu yang berada di Kebun atau tanah milik pribadi perlu melengkapi persyaratan yang harus di ajukan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Tengah, dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Surat permohonan Izin penebangan kayu Tanah Milik yang dibuat oleh Pemilik tanah yang di ajukan kepada Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Aceh Tengah.
2. Surat Keterangan dari Kepala Kampung tentang penebangan kayu tanah milik pribadi.
3. Surat Keterangan dari Kepala Mukim setempat
4. Melampirkan surat keterangan tentang Tanah Milik, Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bagunan serta Rincian kebutuhan Kayu. Dimana setiap surat izin dibatasi kapasitas kayunya sebesar 5 (lima Kubik)

Jika kita melihat bahwa persyaratan tersebut memeng tidak menyulitkan bagi para penduduk, akan tetapi pada keyataannya yang kami dapatkan dilapangan berbeda dengan apa yang sudah ditetapkan. Dimana siapa yang memiliki kekuasaan dan kekuatan dialah yang menentukan, seperti yang terjadi kemukiman isaq. Dari keterangan yang didapat dari kepala mukim isaq bahwa setiap izin yang dikeluarkan tidak dilengkapi dengan izin angkutan kayu dan untuk kayu bakar rumah tangga juga harus dibuat surat izinnya dan ini sangat memberatkan masyarakat, seharusnya pemerintah harus memberikan khusussan bagi masyarakat yang melakukan penabangan kayu untuk kebutuhan kayu bakar, dan untuk daerah yang harus dilengkapi surat izin apabila melakukan penabangan kayu.

Sedangkan dikemukiman jagong kecamatan Jagong Jeget berbeda lagi kasusnya dimana tanpa surat izin dinas kehutanan Kabupaten Aceh Tengah, memberikan kewenangan bagi masyarakatnya untuk melakukan penabangan kayu di dalam kawasan tanah milik pribadi, sedangkan dikawasan hutan kepala mukimnya tidak memberikan izin penebangan walaupun untuk keperluan gampong atau mukim, dimana apabila dikawasan hutan tersebut harus dilengkapi surat izin dari dinas kehutanan.

Sebahagian masyarakat adat yang ada di Aceh Tengah memiliki ketergantungan akan sumber daya hutan, yang dimulai dari kebutuhan akan kayu untuk membagun rumah dan kayu bakar serta kebutuhan akan pembukaan lahan perkebunan, akan tetapi mereka dihadapkan dengan berbagai persolan peraturan pemerintah daerah, propinsi maupun nasional, sehingga sebagian dari mereka melakukan kegiatan illegal seperti perambahan hutan untuk pembukaan lahan perkebuanan, penebangan kayu (illegal logging). Hal tersebut meraka lakukan karena kebutuhan akan ekonomi keluaraga dan sebahagian mereka kurang mengerti akan peraturan dan perundang-undangan yang beraku.

Peran Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan

Potensi sumber daya hutan, lahan maupun sumber daya alam yang dikandungnya, merupakan alat produksi utama bagi masyarakat adat yang mata pencaharian utamanya adalah berladang dan mengekstraksi hasil hutan. Keduanya dilakukan dalam sekala kecil, bahkan kadang sangat bersifat subsisten atau hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, dan hanya sebagian yang sangat kecil yang dipertukarkan dalam pasar. Struktur pemerintahan adat digerakkan dengan sumber daya yang didapatkan dari hasil yang disisihkan dari pengelolaan atas hutan dan sumber dayanya tersebut. Sistem dan mekanisme pembagian hasil diatur dalam hukum adat, termasuk penentuan wilayah hutan mana yang bisa dikelola dan diusahakan.

Selain tanah adat yang diperuntukkan bagi para pemegang jabatan adat, hasil yang disisihkan sebagai bagian dari kas adat, yang nantinya digunakan kembali untuk kepentingan bersama seperti: pembangunan Masjid atau Maunasah, dan fasilitas umum lainnya. Hukum adat masih dipatuhi karena ada orang yang mendapatkan penghidupan dari memproduksi dan mereproduksi pengetahuan tentang hukum adat, yang secara otomatis menghasilkan otoritas. Di sisi yang lain, ada sebagian orang yang lain yang membutuhkan hukum ini untuk mengatur kehidupan mereka dan sepakat untuk tunduk terhadap hukum tersebut. Dalam situasi saat ini struktur masyarakat dan pemerintahan adat berjalan secara efektif dan kesemuanya saling mendukung.

Pengelolaan Sumber Daya Hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat pada masa lalu sangat baik dimana peran mukim dan lembaga adatnya dalam menjaga kelestarian hutan sangat arif dan bijaksana, seperti dalam penentuan tapal batas sebuah kawasan hutan tersebut ditetapkan dengan musyarawah yang dihadiri oleh seluruh masyarakat disekitar kawasan tersebut. Setiap penentuan tapal batas dilihat dari peruntukan lahannya seperti 50 meter dari pilar (tapal Batas Pemerintah) pohonnya tetap dibiarkan tumbuh (tidak boleh ditebang) dan ini menjadi batas untus sebuah kawasn hutan.

Pelus Uten/Pengulu Uten, merupakan lembaga adat yang ada di Aceh Tengah yeng mengurusi persoalan hutan, dimana lembaga ini dulunya berfungsi untuk menjaga hutan dan pemanfaatan hasil hutan serta pembukaan lahan untuk perkebunan oleh masyarakat adat yang ada di sekitar hutan. Saat sekarang ini peran tersebut di ambil oleh dinas kehutan dengan mengangkat para petugas penjaga hutan (POLHUT/JAGAWAN) yang tersebar diberapa daerah yang ada di Aceh Tengah. Dengan adanya polhut tersebut secara tidak langsung bahwa peran dari pelus uten/pengulu uten mulai dihilangkan,

Untuk daerah pemanfaatan khususnya untuk perkebunan masyarakat adat yang ada di beberapa kemukiman yang ada di Aceh Tengah memanfaatkan daerah yang agak datar sekitar dibawah kemiringan 450, jika diluar dari daerah tersebut jika dilakukan pembukaan lahan perkebunan sangan rentan akan terjadinya longsor.

Pertambangan

Selain dari potensi kehutanan dan Danau, Aceh tengah juga memiliki potensi pertambangan mineral yang tersebar di beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Aceh Tengah, seperti Tambang emas ada di Kampong Alur Badak, Kemukiman Pegasing kecamatan Pegasing, selain di Alur Badak juga ada pertambangan emas yang sudah dilakukan eksploitasi oleh Perusahaan ES Asia Canada di Kampung Lumut Kemukiman Singah Mata kecamatan Linge. Selain yang ekspolitasi pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan Daerahah, Nasional, maupun perusahaan Internasional. Ada pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat Adat, seperti didaerah Kampung Pame Kecamatan Rusip Antar Kemukiman Rusip dimana masyarakat yang berada didaerah ini melakukan penambangan dengana menggunakan kuali, dan penambangan tersebut bukan mata pencarian utama mereka. Masyarakat pame melakukan penambangan pada hari tertentu saja seperti ketika setelah selesai bekerja di kebun/ladang, dan pada saat mereka lagi mandi disungai.

Ada beberapa perusahaan yang akan melakukan eksplointasi potensi kandungan emas di Kabupaten Aceh Tengah yakni PT Citra Kencana, PT Gold Mine Sejati I dan II, PT Kencana Mineral, PT Mandiri Kencana Mineral I dan II, PT Sarana Kencana Mineral I dan II, PT Tradisi Tirta Kencana dan PT Citra Kencana Mineral Cooporation. Beberapa perusahaan diantaranya sudah mengadakan survey pendahuluan di Kabupaten Aceh Tengah, pada akhir tahun 2007, Perusahaan East Asia Minerals Corporation sudah mulai aktivitas pengeboran.

Masyarakat adat dalam Pertambangan

Pertambangan rakyat merupakan kenyataan yang tidak dapat diabaikan. Para penambang-penambang ini telah lebih dulu hadir jika dibandingkan dengan kontrak-kontrak pertambangan dan mereka memiliki klalm sejarah yang lebih tua dari negara. Sejak lama terjadi pengambilalihan secara sistematis pemilikan-pemilikan masyarakat adat terhadap sumberdaya pertambangan. Masalah-masalah yang timbul dari pengambil alihan kepemilikan ini sampai hari ini tidak terselesaikan karena secara tidak langsung politik kebijakan dan hukum yang dikembangkan oleh Negara, menegasikan hal tersebut. Akan tetapi penegasian yang berlangsung sekian lama itu tidak dapat menghapuskan keberadaan masyarakat adat. Sehingga konflik-konflik kepemilikan terus berkembang dari waktu-kewaktu.

Pendekatan-pendekatan pemberian ganti rugi lahan, ganti rugi tanam tumbuh tidak memberikan solusi bagi konflik-konflik pertambangan. Jika dihubungkan dengan berbagai ketentuan perolehan tanah untuk usaha-usaha swasta seperti misalnya peraturan yang mengatur tentang ijin lokasi, menunjukkan bahwa pemberian ganti rugi sangat erat hubungannya dengan tingkat dan levelitas pengakuan negara terhadap pemilikan rakyat, yang mana secara pesimis dapat ditarik kesimpulan pengakuan itu diberikan dengan setengah hati. Padahal jika dikaji lebih jauh pendekatan ganti rugi ini tidak memberikan jaminan kelangsungan hidup rakyat.

Satu pertanyaan untuk menggugah kita semua dengan melihat kenyataan perlakuan terhadap penambang rakyat-tradisional saat ini dan masyarakat disekitar kawasan pertambangan, apakah pemerintah maupun perusahan pertambangan tidak memberikan ruang bagi komunitas-komunitas independen seperti masyarakat adat dalam menentukan sikap dan lengkah mereka?. Lalu bagaimana dengan kontrak sosial antara masyarakat dengan pengusaha pertambanga tersebut, dimana jangan sampai kontrak social tersebut hanya memperlambat proses peran masyarakat adat sehingga lupa dengan fakta yang sungguhnya.

Dari hasil temuan lapangan dapat kita lihat di Kampung Jagong Mukim Jagong kecamatan Jagong Jeget dimana ada kesepakan masyarakat secara bersama apabila ada perusahaan yang akan melakukan penambangan di wilayah mereka harus menyetujui kesepakatan yang mereka telah buat, dimana pada hari selasa, tanggal 22 Januari 2008, pukul 19.00 WIB bertempat di di kantor balai kampong jagong, dimana masyarakat kampong jagong telah melakukan pertemuan untuk membahas tentang pertambangan timah di kampong jagong, yang di hadiri sekitar 150 orang, dengan menghasilkan beberapa hal yaitu:

1. Masyarakat sangat setuju dilaksanakannya exsploitasi pertambangan dengan catatat saling menguntungkan tidak saling merugikan.
2. Dengan Exsploitasi pertambangan dapat menunjang pendapatan masyarakat setempat dan pemerintah daerah setempat.
3. Dengan dibukanya pertambangan membuka lapangan kerja terutama untuk putra daerah setempat disesuaikan dengan pendidikan.
4. Pembagian pendapatan disesuaikan dengan penghasilan tambang yang terkena lahan.
5. Pembentukan, koperasi pertambangan harus segera dibentuk
6. Pertambangan yang berada dikawasan kampong jagong diserahkan untuk pengelolaan kepada PT. ASIA NUSANTARA PASIFIK.
7. Disamping pengelolaan pertambangan harus dikelola dan diperhatikan dibidang pertanian, pendidikan, kesehatan, keagamaan, perikanan dan imprastruktur.
8. Untuk keamanan tanggung jawab bersama demi menjaga kenyamanan dan ketentraman.
9. Pendanaan didanai oleh PT. ASIA NUSANTARA PASIFIK secara keseluruhan (100%)

Kesepakan tersebut kemudian dituangkan kedalam Panduan Pelaksanaan program Pelaksanaan Pertambangan (P3) Kampung Jagong, Kemukiman Jagong kecamatan Jagong Jeget.

Peluang dan Tantangan Masyarakat dalam Pertambangan

Pertambangan merupakan salah satu industri yang tidak berkelanjutan karena tergantung pada sumberdaya yang tidak terbarukan. Jika kemudian kelompok pro pertambangan begitu yakin bahwa industri tambang mineral di Aceh akan membawa kemakmuran. Bagaimana dengan dampak lingkungan yang akan di wariskan industri pertambangan, terutama setelah beroperasi?. Justru akan lebih memiskinkan masyarakat di sekitar areal pertambangan. Pengelolaan lingkungan hidup dalam operasi pertambangan seharusnya meliputi keseluruhan fase kegiatan pertambangan tersebut, mulai dari fase eksplorasi, fase produksi, hingga pasca penutupan tambang.

Jika kita melihat bahwa banyak segi negative yang akan ditinggalkan oleh perusahaan pertambangan baik dari segi social dan budaya maupun dampak kerusakan lingkungan. setiap Industri pertambangan pada pasca operasi akan meninggalkan banyak warisan yang memiliki potensi bahaya dalam jangka panjang, antara lain; Lubang tambang (Pit), Air asam tambang (Acid Mine Drainage), dan Tailing.

Lubang Tambang, Sebagian besar pertambangan mineral di Indonesia dilakukan dengan cara terbuka. Ketika selesai beroperasi, perusahaan meninggalkan lubang-lubang raksasa di bekas areal pertambangannya. Lubang-lubang itu berpotensi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang, terutama berkaitan dengan kualitas dan kuantitas air.

Air Asam Tambang. Air asam tambang mengandung logam-logam berat berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dalam jangka panjang. Ketika air asam tambang sudah terbentuk maka akan sangat sulit untuk menghentikannya karena sifat alamiah dari reaksi yang terjadi pada batuan. Sebagai contoh, pertambangan timbal pada era kerajaan Romawi masih memproduksi air asam tambang 2000 tahun setelahnya.

Air asam tambang baru terbentuk bertahun-tahun kemudian sehingga perusahaan pertambangan yang tidak melakukan monitoring jangka panjang bisa salah menganggap bahwa batuan limbahnya tidak menimbulkan air asam tambang. Air asam tambang berpotensi mencemari air permukaan dan air tanah. Sekali terkontaminasi terhadap air akan sulit melakukan tindakan penanganannya.

Tailing. Tailing dihasilkan dari operasi pertambangan dalam jumlah yang sangat besar. Sekitar 97 persen dari bijih yang diolah oleh pabrik pengolahan bijih akan berakhir sebagai tailing. Tailing mengandung logam-logam berat dalam kadar yang cukup mengkhawatirkan, seperti tembaga, timbal atau timah hitam, merkuri, seng, dan arsen. Ketika masuk kedalam tubuh mahluk hidup logam-logam berat tersebut akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh dan dapat menimbulkan efek yang membahayakan kesehatan.

Celakanya, tidak ada aturan di Indonesia yang mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan proses penutupan tambang secara benar dan bertanggungjawab. Kontrak karya pertambangan hanya mewajibkan perusahaan pertambangan melakukan reklamasi, dalam pikiran banyak pelaku industri ini adalah penghijauan atau penanaman pohon semata. Jauh panggang dari api.

Selain dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, berdampak juga bagi kesehatan dimana dampak buruk penambangan terhadap kesehatan masyarakat yang bermukim di sekitar penambangan harus diwaspadai. Ada beberapa dampak kesehatan yang muncul, seperti keracunan logam berat, infeksi cacing tambang, diare, infeksi saluran pernapasan atas (ispa) dan infeksi menular seksual sebagai dampak sosial ekonomi dari penambangan. Sementara itu pakar higiene industri dari Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja FKMUI dr Tata Sumitra MSc menjelaskan, secara alami logam berat seperti arsen, merkuri ada di alam (merkuri anorganik) dengan bentuk garam merkuri, yang bisa terdapat di perairan, pestisida, kosmetik, klinik gigi berupa akrilik dan amalgam, makanan. Kemudian, merkuri anorganik itu berubah menjadi merkuri organik dengan bentuk metil merkuri. Metil merkuri, ujarnya, bisa terdapat di serangga (misalnya tawon, kumbang), sayap burung, sedimen, tanah dan di tubuh manusia (rambut, kuku, darah).

Jika beberapa hal yang tersebut diatas jika Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Aceh tak ada salahnya belajar dari kasus-kasus dan potret pertambangan di wilayah lain dalam menghadapi invasi rezim industri keruk yang telah masuk ke Aceh khususnya di Aceh Tengah. Investasi pertambangan tidak harus serta-merta dilihat dari dimensi ekonomis dengan mengabaikan persoalan lingkungan yang bersifat jangka panjang dan laten. Belajar dari banyak kasus hadirnya pertambangan di daerah yang miskin, kemakmuran bagi rakyat hanyalah ilusi, ditambah sebuah warisan jangka panjang bernama pencemaran lingkungan.

Sumber: http://gayoaceh.wordpress.com
Share this Article on :
 

© Copyright AQUACULTURE INFORMATION 2010 -2011 | Design by Awan Muis Bentoo | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.