News Update :

Adu Otot dengan Ikan Cakalang

Senin, 23 April 2012


Halmahera Barat - "Ohoo!" teriakan nelayan memecah keheningan siang Laut Maluku. Pekikan diikuti ratusan ikan teri yang dilempar melintasi badan kapal kayu menuju laut. Di perairan, mulut-mulut ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) menganga, siap melahap ikan puri, sebutan masyarakat Halmahera Barat untuk teri.

Kata oho, yang berarti makan, memang mengajak ikan jenis tongkol itu untuk bersantap teri. Mendengar jeritan nelayan pelempar umpan, nelayan yang duduk di buntut kapal menyahut, "Oho!” Mereka pun memegang erat bambu kuning sepanjang 4 meter. Di ujung bambu, tali nilon berkail terikat.

Tempo yang kala itu ada di antara nelayan, Kamis 22 Maret 2012, ikut mencengkeram bambu. Satu, dua, tiga detik, tali nilon yang menjuntai lemas tiba-tiba menegang. Seekor ikan cakalang termakan tipuan. Bukan ikan teri yang dilahap, melainkan mata kail.

Bambu kemudian diangkat menjauhi permukaan air, ikan berbobot 3 kilogram itu tak tinggal diam. Dia terus menggelepar, berusaha melepaskan bibir dari tusukan kail. Terjadilah peraduan otot dengan cakalang. Tempo tidak cuma mengeluarkan upaya melawan bobot si ikan, tapi juga menahan berat bambu sekira 1,5 kilogram.

“Aaarrgghhh,” dan bruk. Suara erangan Tempo ketika menarik ikan hingga terjatuh telentang, menimpa dek kapal. Untung si ikan tidak terlepas dari kait kail. Hingga akhirnya, Brak, cakalang pun mendarat di keramba kapal.

Posisi memancing yang Tempo dan para nelayan lakukan adalah funai. Sebuah gaya mengail ikan dengan posisi duduk di belakang kapal. Sedangkan bambu pancingnya disebut huhate, yang berasal dari bahasa penduduk Halmahera Barat. Dalam istilah pemancingan, gaya ini dinamakan pole and line.

Funai memang tradisi memancing masyarakat timur Indonesia, seperti Halmahera Barat.

Pada wisata memancing kali ini, Tempo mengunjungi Laut Maluku. Tepatnya 13 mil dari tepi daratan Desa Kedi, Kecamatan Loloda, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara.

Saat memancing, setidaknya enam nelayan duduk di belakang kapal, satu melempar ikan teri ke laut, dan dua orang mengurus ikan yang terjerat kail. Kata seorang nelayan, Ramos, 40 tahun, funai mempunyai teknik khusus. Pertama, jangan menarik bambu dengan entakan waktu ikan menggigit kail. “Bambu ditarik pelan tapi kuat, biar kail tidak lepas dari mulut ikan,” kata Ramos.

Kedua, kanan kiri menekan belakang bambu ke dek kapal, sehingga lantai kapal menjadi tumpuan huhate. Dan tangan kanan di depan badan bisa kuat mengangkat bambu serta cakalang.

Untuk kail, nelayan cuma menggunakan besi melengkung tanpa mata pancing. Gunanya memudahkan ikan lepas dari pancingan tanpa bantuan tangan pemancing. Alhasil, kalau melihat dari kejauhan, para nelayan funai seperti bermain tarik-julur bambu tanpa berpindah posisi duduk.

Supaya kail menyerupai umpan, nelayan memasang bulu ayam di ujung pancingan dan menyemprotkan air dari belakang kapal. Semprotan itu membuat permukaan laut beriak, sehingga pandangan ikan bisa dikibuli. “Umpan bulu ayam dikira ikan teri,” kata Ramos.

Karena unik, kini Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat melirik funai untuk tujuan wisata pada Festival Teluk Jailolo, 17-19 Mei 2012. Bagi orang awam atau ahli dalam kegiatan memancing, funai memang menarik dicoba. Toh, Tempo yang tidak lihai mengail ikan saja bisa mendapat 13 cakalang dalam waktu satu jam.[Tempo]
Share this Article on :
 

© Copyright AQUACULTURE INFORMATION 2010 -2011 | Design by Awan Muis Bentoo | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.