Halmahera Barat -
"Ohoo!" teriakan nelayan memecah keheningan siang Laut Maluku.
Pekikan diikuti ratusan ikan teri yang dilempar melintasi badan kapal kayu
menuju laut. Di perairan, mulut-mulut ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)
menganga, siap melahap ikan puri, sebutan masyarakat Halmahera Barat untuk
teri.
Kata oho, yang berarti makan,
memang mengajak ikan jenis tongkol itu untuk bersantap teri. Mendengar jeritan
nelayan pelempar umpan, nelayan yang duduk di buntut kapal menyahut,
"Oho!” Mereka pun memegang erat bambu kuning sepanjang 4 meter. Di ujung
bambu, tali nilon berkail terikat.
Tempo yang kala itu ada di antara
nelayan, Kamis 22 Maret 2012, ikut mencengkeram bambu. Satu, dua, tiga detik,
tali nilon yang menjuntai lemas tiba-tiba menegang. Seekor ikan cakalang
termakan tipuan. Bukan ikan teri yang dilahap, melainkan mata kail.
Bambu kemudian diangkat menjauhi
permukaan air, ikan berbobot 3 kilogram itu tak tinggal diam. Dia terus
menggelepar, berusaha melepaskan bibir dari tusukan kail. Terjadilah peraduan
otot dengan cakalang. Tempo tidak cuma mengeluarkan upaya melawan bobot si
ikan, tapi juga menahan berat bambu sekira 1,5 kilogram.
“Aaarrgghhh,” dan bruk. Suara
erangan Tempo ketika menarik ikan hingga terjatuh telentang, menimpa dek kapal.
Untung si ikan tidak terlepas dari kait kail. Hingga akhirnya, Brak, cakalang
pun mendarat di keramba kapal.
Posisi memancing yang Tempo dan
para nelayan lakukan adalah funai. Sebuah gaya mengail ikan dengan posisi duduk
di belakang kapal. Sedangkan bambu pancingnya disebut huhate, yang berasal dari
bahasa penduduk Halmahera Barat. Dalam istilah pemancingan, gaya ini dinamakan
pole and line.
Funai memang tradisi memancing
masyarakat timur Indonesia, seperti Halmahera Barat.
Pada wisata memancing kali ini,
Tempo mengunjungi Laut Maluku. Tepatnya 13 mil dari tepi daratan Desa Kedi,
Kecamatan Loloda, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara.
Saat memancing, setidaknya enam
nelayan duduk di belakang kapal, satu melempar ikan teri ke laut, dan dua orang
mengurus ikan yang terjerat kail. Kata seorang nelayan, Ramos, 40 tahun, funai
mempunyai teknik khusus. Pertama, jangan menarik bambu dengan entakan waktu
ikan menggigit kail. “Bambu ditarik pelan tapi kuat, biar kail tidak lepas dari
mulut ikan,” kata Ramos.
Kedua, kanan kiri menekan
belakang bambu ke dek kapal, sehingga lantai kapal menjadi tumpuan huhate. Dan
tangan kanan di depan badan bisa kuat mengangkat bambu serta cakalang.
Untuk kail, nelayan cuma
menggunakan besi melengkung tanpa mata pancing. Gunanya memudahkan ikan lepas
dari pancingan tanpa bantuan tangan pemancing. Alhasil, kalau melihat dari
kejauhan, para nelayan funai seperti bermain tarik-julur bambu tanpa berpindah
posisi duduk.
Supaya kail menyerupai umpan,
nelayan memasang bulu ayam di ujung pancingan dan menyemprotkan air dari
belakang kapal. Semprotan itu membuat permukaan laut beriak, sehingga pandangan
ikan bisa dikibuli. “Umpan bulu ayam dikira ikan teri,” kata Ramos.
Karena unik, kini Pemerintah
Kabupaten Halmahera Barat melirik funai untuk tujuan wisata pada Festival Teluk
Jailolo, 17-19 Mei 2012. Bagi orang awam atau ahli dalam kegiatan memancing,
funai memang menarik dicoba. Toh, Tempo yang tidak lihai mengail ikan saja bisa
mendapat 13 cakalang dalam waktu satu jam.[Tempo]